Dinamika Kelompok dan Teambuilding
Dinamika kelompok dan Teambuilding
Didalam kehidupan bermasyarakat, kita sering mendengar kata “group” atau “kelompok ”. Namun, apakah kita mengetahui, apa sebenarnya dinamika yang dimiliki oleh group atau kelompok tersebut, seperti interaksi dalam kelompok, gejala dalam kelompok, dan bagaimana mengatasi konflik yang ada di dalam suatu kelompok? Serta bagaimana membangun tim yang efektif? Berikut bahasan dari beberapa pertanyaan tersebut.
Dinamika kelompok terjadi karena adanya interaksi antaranggota kelompok, yang didalamnya terdapat proses kelompok. Proses kelompok terdiri dari sejumlah kelompok kerja yang saling berkaitan dalam suatu tata tingkat tertentu. Setiap kelompok kerja terdiri dari sejumlah tenaga kerja yang saling mempengaruhi dan saling tergantung, namun derajat pengaruh dan ketergantungan antartenaga kerja tidaklah selalu sama (Munandar,2001). Contohnya yang kita kenal seperti kelompok yang interaksi antaranggotanya tinggi yaitu, tim bola basket, tim sepak bola, dan kelompok yang interaksi antaranggotanya rendah yaitu, regu catur dan regu bulu tangkis (Munandar,2001).
Fiedler (Dalam Munandar, 2001), memberikan tipologi dari kelompok-kelompok kerja yang didasarkan pada sifat dan intensitas interaksi, yaitu : kelompok interaksi (interacting group), kelompok koaksi (Co-acting group), dan kelompok konteraksi (counteracting group).
a) Kelompok Interaktif
Kelompok yang para anggotanya saling bergantung dan aksi atau tindakan mereka perlu dikerjakan dan disusun bersama untuk dapat menyelesaikan tugas kelompok dengan baik Contohnya adalah tim sepak bola dan tim bola voli.
b) Kelompok koaktif
Kelompok yang anggotanya ini bekerja sama dalam melaksanakan tugas kelompok, tapi masing-masing dapat melaksanakan pekerjaanya relatif secara mandiri tidak saling tergantung. Contohnya adalah Kelompok pramuniaga (Salesman).
c) Kelompok konteraktif
Kelompok yang para anggotanya bekerja sama untuk tujuan perundingan dan memufakatkan sasaran dan tuntutan yang bertentangan. Contohnya adalah rapat kerja tahunan antara pimpinan cabang dan divisi kelompok di Kantor Pusat untuk menentukan strategi perusahaan.
Selain itu, diperlukan juga upaya-upaya agar kelompok kerja tersebut dapat bekerja sebagai suatu tim dan keseluruhan kelompok kerja perlu dipadukan dalam suatu keserasian sehingga organisasi dapat berfungsi efisien dan efektif. Namun, apakah yang terjadi jika dalam proses interaksi antaranggota terjadi sebuah gejala?
Menurut Munandar (2001), ada tiga fungsi yang timbul dari gejala dalam proses kelompok, yaitu fungsi sebagai gagasan baru dan penyelesaian kreatif, sebagai mekanisme pemecahan masalah dan sebagai pelancar pelaksanaan keputusan majemuk.
Dalam proses kelompok, dimana para anggota kelompok kerja berinteraksi dan dimana kelompok melaksanakan fungsinya, dapat kita temukan timbulnya gejala-gejala (Munandar,2001), sebagai berikut:
a. Konformisme
Dalam interaksi antaranggota kelompok, tanpa disadari, mereka mengikuti pola-pola perilaku tertentu yang berlaku umum dikeseluruhan organisasi kerjanya dan pola perilaku yang lebih khas berlaku dalam kelompok kerjanya, yang tumbuh karena interaksi selama jangka waktu yang panjang.
b. Kelekatan (Cohesiveness)
Setiap kelompok kerja memiliki sasaran yang harus dicapai. Sasaran kelompok belum tentu dapat diterima sepenuhnya oleh para anggota kelompoknya. Di samping itu, jika memerlukan kerja sama, maka perlu para anggota kelompok masing-masing mau menerima dan mampu bekerja sama dengan anggota kelompok lainnya.
c. Sinergi
Dalam proses pengambilan keputusan dalam kelompok timbul gejala, bahwa keputusan yang diambil kelompok merupakan keputusan yang lebih baik dari keuputusan yang diambil oleh setiap anggota kelompok tersendiri, gejala ini disebut sinergi.
d. Groupthink
Satu gejala yang merupakan kelemahan dari kelompok yang terlalu lekat ialah bahwa kecakapan pengambilan keputusan mereka dapat secara mendadak berkurang. Menurut Janis (Dalam Munandar, 2001), berpikir kelompok merupakan suatu kemunduran dari efisiensi mental, pengujian realibilitas, dan pertimbangan moral yang dihasilkan oleh tekanan-tekanan dari dalam kelompoknya sendiri.
e. Polarisasi Kelompok ( Group Polarization)
Gejala lain dalam proses pengambilan keputusan kelompok ialah adanya penggeseran keputusan yang menuju ke kedua ekstrem, keputusan yang sangat tinggi risikonya atau ke keputusan yang sangat rendah derajat resikonya.
Setelah kita membahas mengenai interaksi antaranggota kelompok serta gejala yang timbul dalam kelompok, selanjutnya kita akan membahas bagaimana mengatasi konflik yang ada di dalam suatu kelompok?, Namun sebelum membahas mengenai hal tersebut, perlu kita ketahui dahulu apa itu konflik.
Konflik didefinisikan sebagai suatu proses ketika satu pihak yang bersangkutan merasakan bahwa pihak lain terkena dampak negatif atau mempengaruhi sesuatu secara negatif, yang membuat pihak yang pertama perduli (Robbins & Judge, 2013).
Lalu bagaimana mengatasi konflik yang ada di dalam suatu kelompok? berikut uraiannya.
Adanya dimensi dari intensi untuk menyelesaikan konflik , yang menggunakan dimensi cooperative (ketika satu pihak memuaskan keinginan dari pihak yang lain) dan assertiveness (ketika satu pihak lebih mementingkan untuk memuaskan keinginannya sendiri) dan dikelompokkan dalam lima cara (Robbins & Judge, 2013), yaitu:
Competing. Ketika satu pihak berusaha untuk memuaskan keinginannya sendiri, tanpa memikirkan dampak terhadap pihak lawan konflik, situasi tersebut dinamakan competing. Contohnya ketika satu pihak bersaing untuk tempat yang hanya bisa satu orang saja yang menang.
Collaborating. Ketika satu pihak dalam konflik memiliki keinginan untuk memuaskan kepentingan pihaknya, yang didalamnya ada kerja sama dan mencari keuntungan secara bersama. Di dalam
Collaborating, pihak yang bersangkutan memiliki tujuan untuk memecahkan permasalahan dengan menjelaskan perbedaan yang ada daripada melihat dari satu sudut pandang saja. Situasi ini disebut situasi win-win.
Avoiding. Satu pihak mengenali konflik yang ada dan berkeinginan untuk menghapusnya atau menekannya. Contoh dari Avoiding yaitu termasuk adanya percobaan untuk mengabaikan sebuah konflik dan menghindari perselisihan yang ada.
Accomodating. Kerelaaan satu pihak di dalam suatu konflik untuk hal tertentu yang bertentangan dengan keinginan dirinya sendiri. Contohnya mendukung pendapat orang lain meskipun keberatan dengan hal itu.
Compromising. Di dalam Compromising, tidak ada menang atau kalah. Yang ada kerelaan untuk meletakkan kepentingan konflik dan menerima solusi yang dapat memuaskan semua pihak yang berkonflik.
Selain teknik-teknik penyelesaian konflik diatas. Menurut Robbins (Dalam Munandar, 2001) ada beberapa teknik penyelesaian konflik lainnya yang bersifat win-win, yaitu :
Teknik problem solving. Pertemuan berhadapan (face to face) antara pihak yang bersengketa dengan tujuan menemukan masalah dan memecahkannya melalui diskusi terbuka.
Teknik pengadaan sumber yang lebih banyak. Khusus untuk konflik yang terjadi disebabkan kurangnya atau terbatasnya sumber yang diperlukan.
Teknik pelunakan (smoothing). Berusaha mengurangi asti perbedaan dan menekankan pada kepentingan bersama dari pihak yang bersengketa.
Teknik perintah otoritatif. Untuk menyelesaikan konflik dan mengkomunikasikan keinginannya kepada pihak-pihak yang bersengketa.
Teknik mengubah variabel manusia. Teknik mengubah perilaku menggunakan pelatihan, seperti pelatihan dalam hubungan antar manusia, sehingga dapat mengubah sikap dan perilaku yang menimbulkan konflik.
Teknik mengubah variabel struktur. Mengubah struktur formal organisasi dan pola interaksi dari pihak yang konflik melalui rancang ulang dari pekerjaan (job redisign), pemindahan, pembentukan kedudukan dengan tugas koordinasi, dan sebagainya.
Setelah kita membahas interaksi antaranggota kelompok, gejala dalam kelompok, konflik dan teknik-teknik dalam mengatasinya, selanjutnya pembahasan yang terakhir, yaitu bagaimana membentuk tim yang efektif? berikut ulasannya.
Komponen-komponen penting yang menciptakan tim yang efektif dapat digolongkan ke dalam tiga kategori umum. Kategori pertama adalah sumber daya dan beberapa konteks yang berpengaruh dalam pembentukan tim yang efektif. Kategori kedua berkaitan dengan komposisi tim. Yang terakhir, proses variabel yang mencerminkan sesuatu yang terjadi dalam tim yang mempengaruhi efektivitas. Efektivitas umumnya mencangkup ukuran subjektif atas produktivitas tim, penilaian manajer atas kinerja tim, dan ukuran keseluruhan atas kepuasan anggota (Robbins & judge, 2013).
1. Kategori pertama : Konteks.
• sumber daya yang memadai
• kepemimpinan dan struktur
• kepercayaan
• evaluasi kinerja dan sistem hadiah
2. Kategori kedua : Komposisi
• kemampuan anggota
• kepribadian
• Peran
• diversity
• ukuran
• fleksibel
• Preferensi
3. Kategori ketiga : Proses
• tujuan bersama
• tujuan khusus
• kemajuan tim
• konflik
• kemalasan sosial
Referensi:
Munandar. A. S. (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).
Robbins, S. P. & Judge, T. A. 2013. Organizational Behaviour. edisi 15. United State: Pearson Education.
Didalam kehidupan bermasyarakat, kita sering mendengar kata “group” atau “kelompok ”. Namun, apakah kita mengetahui, apa sebenarnya dinamika yang dimiliki oleh group atau kelompok tersebut, seperti interaksi dalam kelompok, gejala dalam kelompok, dan bagaimana mengatasi konflik yang ada di dalam suatu kelompok? Serta bagaimana membangun tim yang efektif? Berikut bahasan dari beberapa pertanyaan tersebut.
Dinamika kelompok terjadi karena adanya interaksi antaranggota kelompok, yang didalamnya terdapat proses kelompok. Proses kelompok terdiri dari sejumlah kelompok kerja yang saling berkaitan dalam suatu tata tingkat tertentu. Setiap kelompok kerja terdiri dari sejumlah tenaga kerja yang saling mempengaruhi dan saling tergantung, namun derajat pengaruh dan ketergantungan antartenaga kerja tidaklah selalu sama (Munandar,2001). Contohnya yang kita kenal seperti kelompok yang interaksi antaranggotanya tinggi yaitu, tim bola basket, tim sepak bola, dan kelompok yang interaksi antaranggotanya rendah yaitu, regu catur dan regu bulu tangkis (Munandar,2001).
Fiedler (Dalam Munandar, 2001), memberikan tipologi dari kelompok-kelompok kerja yang didasarkan pada sifat dan intensitas interaksi, yaitu : kelompok interaksi (interacting group), kelompok koaksi (Co-acting group), dan kelompok konteraksi (counteracting group).
a) Kelompok Interaktif
Kelompok yang para anggotanya saling bergantung dan aksi atau tindakan mereka perlu dikerjakan dan disusun bersama untuk dapat menyelesaikan tugas kelompok dengan baik Contohnya adalah tim sepak bola dan tim bola voli.
b) Kelompok koaktif
Kelompok yang anggotanya ini bekerja sama dalam melaksanakan tugas kelompok, tapi masing-masing dapat melaksanakan pekerjaanya relatif secara mandiri tidak saling tergantung. Contohnya adalah Kelompok pramuniaga (Salesman).
c) Kelompok konteraktif
Kelompok yang para anggotanya bekerja sama untuk tujuan perundingan dan memufakatkan sasaran dan tuntutan yang bertentangan. Contohnya adalah rapat kerja tahunan antara pimpinan cabang dan divisi kelompok di Kantor Pusat untuk menentukan strategi perusahaan.
Selain itu, diperlukan juga upaya-upaya agar kelompok kerja tersebut dapat bekerja sebagai suatu tim dan keseluruhan kelompok kerja perlu dipadukan dalam suatu keserasian sehingga organisasi dapat berfungsi efisien dan efektif. Namun, apakah yang terjadi jika dalam proses interaksi antaranggota terjadi sebuah gejala?
Menurut Munandar (2001), ada tiga fungsi yang timbul dari gejala dalam proses kelompok, yaitu fungsi sebagai gagasan baru dan penyelesaian kreatif, sebagai mekanisme pemecahan masalah dan sebagai pelancar pelaksanaan keputusan majemuk.
Dalam proses kelompok, dimana para anggota kelompok kerja berinteraksi dan dimana kelompok melaksanakan fungsinya, dapat kita temukan timbulnya gejala-gejala (Munandar,2001), sebagai berikut:
a. Konformisme
Dalam interaksi antaranggota kelompok, tanpa disadari, mereka mengikuti pola-pola perilaku tertentu yang berlaku umum dikeseluruhan organisasi kerjanya dan pola perilaku yang lebih khas berlaku dalam kelompok kerjanya, yang tumbuh karena interaksi selama jangka waktu yang panjang.
b. Kelekatan (Cohesiveness)
Setiap kelompok kerja memiliki sasaran yang harus dicapai. Sasaran kelompok belum tentu dapat diterima sepenuhnya oleh para anggota kelompoknya. Di samping itu, jika memerlukan kerja sama, maka perlu para anggota kelompok masing-masing mau menerima dan mampu bekerja sama dengan anggota kelompok lainnya.
c. Sinergi
Dalam proses pengambilan keputusan dalam kelompok timbul gejala, bahwa keputusan yang diambil kelompok merupakan keputusan yang lebih baik dari keuputusan yang diambil oleh setiap anggota kelompok tersendiri, gejala ini disebut sinergi.
d. Groupthink
Satu gejala yang merupakan kelemahan dari kelompok yang terlalu lekat ialah bahwa kecakapan pengambilan keputusan mereka dapat secara mendadak berkurang. Menurut Janis (Dalam Munandar, 2001), berpikir kelompok merupakan suatu kemunduran dari efisiensi mental, pengujian realibilitas, dan pertimbangan moral yang dihasilkan oleh tekanan-tekanan dari dalam kelompoknya sendiri.
e. Polarisasi Kelompok ( Group Polarization)
Gejala lain dalam proses pengambilan keputusan kelompok ialah adanya penggeseran keputusan yang menuju ke kedua ekstrem, keputusan yang sangat tinggi risikonya atau ke keputusan yang sangat rendah derajat resikonya.
Setelah kita membahas mengenai interaksi antaranggota kelompok serta gejala yang timbul dalam kelompok, selanjutnya kita akan membahas bagaimana mengatasi konflik yang ada di dalam suatu kelompok?, Namun sebelum membahas mengenai hal tersebut, perlu kita ketahui dahulu apa itu konflik.
Konflik didefinisikan sebagai suatu proses ketika satu pihak yang bersangkutan merasakan bahwa pihak lain terkena dampak negatif atau mempengaruhi sesuatu secara negatif, yang membuat pihak yang pertama perduli (Robbins & Judge, 2013).
Lalu bagaimana mengatasi konflik yang ada di dalam suatu kelompok? berikut uraiannya.
Adanya dimensi dari intensi untuk menyelesaikan konflik , yang menggunakan dimensi cooperative (ketika satu pihak memuaskan keinginan dari pihak yang lain) dan assertiveness (ketika satu pihak lebih mementingkan untuk memuaskan keinginannya sendiri) dan dikelompokkan dalam lima cara (Robbins & Judge, 2013), yaitu:
Competing. Ketika satu pihak berusaha untuk memuaskan keinginannya sendiri, tanpa memikirkan dampak terhadap pihak lawan konflik, situasi tersebut dinamakan competing. Contohnya ketika satu pihak bersaing untuk tempat yang hanya bisa satu orang saja yang menang.
Collaborating. Ketika satu pihak dalam konflik memiliki keinginan untuk memuaskan kepentingan pihaknya, yang didalamnya ada kerja sama dan mencari keuntungan secara bersama. Di dalam
Collaborating, pihak yang bersangkutan memiliki tujuan untuk memecahkan permasalahan dengan menjelaskan perbedaan yang ada daripada melihat dari satu sudut pandang saja. Situasi ini disebut situasi win-win.
Avoiding. Satu pihak mengenali konflik yang ada dan berkeinginan untuk menghapusnya atau menekannya. Contoh dari Avoiding yaitu termasuk adanya percobaan untuk mengabaikan sebuah konflik dan menghindari perselisihan yang ada.
Accomodating. Kerelaaan satu pihak di dalam suatu konflik untuk hal tertentu yang bertentangan dengan keinginan dirinya sendiri. Contohnya mendukung pendapat orang lain meskipun keberatan dengan hal itu.
Compromising. Di dalam Compromising, tidak ada menang atau kalah. Yang ada kerelaan untuk meletakkan kepentingan konflik dan menerima solusi yang dapat memuaskan semua pihak yang berkonflik.
Selain teknik-teknik penyelesaian konflik diatas. Menurut Robbins (Dalam Munandar, 2001) ada beberapa teknik penyelesaian konflik lainnya yang bersifat win-win, yaitu :
Teknik problem solving. Pertemuan berhadapan (face to face) antara pihak yang bersengketa dengan tujuan menemukan masalah dan memecahkannya melalui diskusi terbuka.
Teknik pengadaan sumber yang lebih banyak. Khusus untuk konflik yang terjadi disebabkan kurangnya atau terbatasnya sumber yang diperlukan.
Teknik pelunakan (smoothing). Berusaha mengurangi asti perbedaan dan menekankan pada kepentingan bersama dari pihak yang bersengketa.
Teknik perintah otoritatif. Untuk menyelesaikan konflik dan mengkomunikasikan keinginannya kepada pihak-pihak yang bersengketa.
Teknik mengubah variabel manusia. Teknik mengubah perilaku menggunakan pelatihan, seperti pelatihan dalam hubungan antar manusia, sehingga dapat mengubah sikap dan perilaku yang menimbulkan konflik.
Teknik mengubah variabel struktur. Mengubah struktur formal organisasi dan pola interaksi dari pihak yang konflik melalui rancang ulang dari pekerjaan (job redisign), pemindahan, pembentukan kedudukan dengan tugas koordinasi, dan sebagainya.
Setelah kita membahas interaksi antaranggota kelompok, gejala dalam kelompok, konflik dan teknik-teknik dalam mengatasinya, selanjutnya pembahasan yang terakhir, yaitu bagaimana membentuk tim yang efektif? berikut ulasannya.
Komponen-komponen penting yang menciptakan tim yang efektif dapat digolongkan ke dalam tiga kategori umum. Kategori pertama adalah sumber daya dan beberapa konteks yang berpengaruh dalam pembentukan tim yang efektif. Kategori kedua berkaitan dengan komposisi tim. Yang terakhir, proses variabel yang mencerminkan sesuatu yang terjadi dalam tim yang mempengaruhi efektivitas. Efektivitas umumnya mencangkup ukuran subjektif atas produktivitas tim, penilaian manajer atas kinerja tim, dan ukuran keseluruhan atas kepuasan anggota (Robbins & judge, 2013).
1. Kategori pertama : Konteks.
• sumber daya yang memadai
• kepemimpinan dan struktur
• kepercayaan
• evaluasi kinerja dan sistem hadiah
2. Kategori kedua : Komposisi
• kemampuan anggota
• kepribadian
• Peran
• diversity
• ukuran
• fleksibel
• Preferensi
3. Kategori ketiga : Proses
• tujuan bersama
• tujuan khusus
• kemajuan tim
• konflik
• kemalasan sosial
Referensi:
Munandar. A. S. (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).
Robbins, S. P. & Judge, T. A. 2013. Organizational Behaviour. edisi 15. United State: Pearson Education.
Komentar
Posting Komentar